Tangisan Untuk Adikku #1

Aku di lahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari – hari yang di lalui oleh orang tuaku hanyalah membajak tanah kering. aku juga mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Perangainya begitu menyenangkan, walau kadang suka membuatku begitu jengkel.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan unik, yang mana ketika itu sedang tren-nya dikalangan setiap gadis di dusunku, Aku mencuri lima puluh ribu dari laci ayahku, dan tak lama ayah segera menyadarinya. Beliau membuat aku dan adikku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?”, dengan keras dan lantang beliau bertanya. Maklum saja, ayah memang keras perangainya, apalagi setelah ibu meninggalkan kami bertiga.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara mengakui perbuatan yang telah ku lakukan. Ayah tidak mendengar siapa pun menjawab pertanyaannya “Baiklah kalau begitu, kalian berdua layak dipukul !” Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi.

“Ayah, aku yang melakukannya !” tiba-tiba adikku bergerak dan mencengkram tangan ayah.

Mendengar itu, ayah sangat marah, tongkat bambu panjang yang ia pegang terus menerus menghantam punggung adikku hingga beliau kehabisan nafas. setelah itu ia duduk di atas ranjang bata yang kami miliki, dan terus menerus memarahi kami berdua “Kamu sudah belajar mencuri di rumah sekarang, hal memalukan apalagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?…kamu layak dipukul sampai mati!, Kamu pencuri tidak tahu malu !”

Malam itu, mbo dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Mbo adalah adik ayahku, pribadinya berbeda sekali dengan kakaknya, dia sangat menyayangi kami berdua, dan pengganti ibu bagi kami. Tubuh adikku penuh dengan luka, tapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.

Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung raung mengingat kejadian siang tadi. Adikku datang dan menutup mulutku dengn tangan kecilnya serta membersihkan air mataku dengan saputangan kusamnya “Kaakk, jangan menangis lagi sekarang yaa.. semuanya sudah terjadi.” dengan senyumnya, ia membuatku sedikit berhenti menitikan air mata, lalu aku mendekapnya dalam pelukanku.

Walau tengah bertahun tahun ku lewati setelah insiden tersebut, aku masih selalu membenci diriku sendiri karena tidak memiliki keberanian untuk maju dan mengaku pada ayah. Kejadian itu seperti baru terjadi kemarin, Aku tidak pernah akan lupa wajah adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun dan aku 11.

Squel #2 - - ->

4 Comments

Tinggalkan komentar